EKONOFISIKA merupakan bidang penelitian baru di dalam fisika yang memanfaatkan hukum-hukum serta teori-teori fisika untuk mempelajari dinamika perkembangan sektor-sektor ekonomi. Saking barunya, Physical Review, jurnal fisika ternama di Amerika, mula-mula enggan untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian di bidang ini. Baru beberapa tahun yang lalu Physical Review berangsur-angsur berubah pikiran setelah melihat gencarnya publikasi ekonofisika oleh beberapa jurnal fisika lain di Eropa. Bahkan, istilah ekonofisika sendiri belum terlalu baku karena sebagian komunitas ilmiah masih sering menyebut bidang ini sebagai phynance (singkatan dari physics of finance). Namun, istilah ekonofisika terlihat lebih konsisten digunakan jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang beririsan dengan fisika seperti biofisika, geofisika, astrofisika, atau yang sama sekali tidak berhubungan seperti metafisika.Banyak hal yang membuat fisikawan tertarik pada bidang ini dan merasa tertantang untuk berkiprah, antara lain adalah melimpahnya data kuantitatif di pelbagai sektor ekonomi (dengan frekuensi tinggi) yang nyaris hanya dianalisis dengan statistik konvensional.
Perkembangan-perkembangan terbaru di dalam fisika (terutama fisika statistik) serta dukungan teknologi komputer yang semakin canggih telah membantu menghasilkan mekanisme baru untuk menganalisis data tersebut.
Masuknya doktor-doktor fisika ke pasar saham seperti Wall Street serta institusi-institusi finansial lainnya seperti Goldman Sachs, Merrill Lynch atau- pun perusahaan-perusahaan asuransi, juga bagaikan roket pendorong bagi kemajuan bidang ini. Betapa tidak, dengan penghasilan per tahun sebesar 100.000 dollar AS untuk pemula dan dapat mencapai setengah juta dollar untuk mereka yang sudah mulai profesional, bidang ini tampak lebih menjanjikan ketimbang harus bersaing dengan ratusan jenius fisika untuk memperebutkan satu dari beberapa gelintir posisi di universitas atau laboratorium penelitian. Namun, bagaimana sebenarnya dua bidang yang sangat berjauhan ini dapat berkolaborasi?
Sejarah menunjukkan bahwa interes di bidang ini sudah dimulai sekitar seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1900 ketika seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Sorborne Paris, Louis Bachelier, menulis tesis doktornya dengan judul Teori Spekulasi. Di dalam tesis tersebut, Bachelier mengajukan model matematik bagi proses penyusunan data yang menggunakan metode stikastik dari keuntungan, laba.
Model Bachelier menggunakan teori gerak Brown, gerak acak partikel di dalam fluida, yang menjelaskan kinerja saham dan memperlihatkan distribusi keuntungan yang berbentuk Gaussian (bentuk seperti lonceng). Meski penelitian-penelitian dewasa ini memperlihatkan penyimpangan yang sangat berarti terhadap model tersebut, ide Bachelier tetap terus digunakan dan bahkan merupakan asumsi dasar dari teori Black-Scholes (suatu model matematis untuk option-pricing yang dikembangkan oleh Fischer Black dan Myron Scholes pada tahun 1973).
Lebih dari 60 tahun kemudian, Benoit Mandelbrot, seorang ahli geometri fractal, melakukan penelitian terhadap harta karun yang diperjualbelikan saat itu dan menemukan fakta menarik yaitu distribusi keuntungan untuk skala waktu yang berbeda memperlihatkan kemiripan atau bentuk yang universal. Penemuan ini menjadi salah satu topik penelitian yang kini gencar-gencarnya dilakukan di Amerika Serikat untuk memprediksi perkembangan harga-harga saham.
Dibandingkan dengan data yang digunakan oleh Mandelbrot saat itu (hanya sekitar 2.000 data) jumlah data yang tersedia saat ini sangat berlimpah. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok Universitas Boston dan Institut Teknologi Massachussetts (MIT), misalnya, menggunakan sekitar 40 juta rekaman data harga saham yang diambil untuk selang waktu lima menit dari sekitar 1.000 jenis saham teratas di Amerika. Jumlah ini merupakan angka fantastis yang menjadi daya tarik bagi fisikawan, namun belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah jenis DNA yang telah diteliti dengan teknik yang sama yang mencapai sekitar tiga milyar. Saat ini para ahli biologi telah mengetahui bahwa dari seluruh DNA yang diamati hanya tiga persen saja yang memiliki arti, sisanya sering disebut sebagai junk DNA atau non-coding DNA. Fisikawan dari Universitas Boston menggunakan teknik yang sama untuk mencari sifat-sifat fenomenologis dari junk DNA tersebut.
Perkembangan-perkembangan terbaru di dalam fisika (terutama fisika statistik) serta dukungan teknologi komputer yang semakin canggih telah membantu menghasilkan mekanisme baru untuk menganalisis data tersebut.
Masuknya doktor-doktor fisika ke pasar saham seperti Wall Street serta institusi-institusi finansial lainnya seperti Goldman Sachs, Merrill Lynch atau- pun perusahaan-perusahaan asuransi, juga bagaikan roket pendorong bagi kemajuan bidang ini. Betapa tidak, dengan penghasilan per tahun sebesar 100.000 dollar AS untuk pemula dan dapat mencapai setengah juta dollar untuk mereka yang sudah mulai profesional, bidang ini tampak lebih menjanjikan ketimbang harus bersaing dengan ratusan jenius fisika untuk memperebutkan satu dari beberapa gelintir posisi di universitas atau laboratorium penelitian. Namun, bagaimana sebenarnya dua bidang yang sangat berjauhan ini dapat berkolaborasi?
Sejarah menunjukkan bahwa interes di bidang ini sudah dimulai sekitar seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1900 ketika seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Sorborne Paris, Louis Bachelier, menulis tesis doktornya dengan judul Teori Spekulasi. Di dalam tesis tersebut, Bachelier mengajukan model matematik bagi proses penyusunan data yang menggunakan metode stikastik dari keuntungan, laba.
Model Bachelier menggunakan teori gerak Brown, gerak acak partikel di dalam fluida, yang menjelaskan kinerja saham dan memperlihatkan distribusi keuntungan yang berbentuk Gaussian (bentuk seperti lonceng). Meski penelitian-penelitian dewasa ini memperlihatkan penyimpangan yang sangat berarti terhadap model tersebut, ide Bachelier tetap terus digunakan dan bahkan merupakan asumsi dasar dari teori Black-Scholes (suatu model matematis untuk option-pricing yang dikembangkan oleh Fischer Black dan Myron Scholes pada tahun 1973).
Lebih dari 60 tahun kemudian, Benoit Mandelbrot, seorang ahli geometri fractal, melakukan penelitian terhadap harta karun yang diperjualbelikan saat itu dan menemukan fakta menarik yaitu distribusi keuntungan untuk skala waktu yang berbeda memperlihatkan kemiripan atau bentuk yang universal. Penemuan ini menjadi salah satu topik penelitian yang kini gencar-gencarnya dilakukan di Amerika Serikat untuk memprediksi perkembangan harga-harga saham.
Dibandingkan dengan data yang digunakan oleh Mandelbrot saat itu (hanya sekitar 2.000 data) jumlah data yang tersedia saat ini sangat berlimpah. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok Universitas Boston dan Institut Teknologi Massachussetts (MIT), misalnya, menggunakan sekitar 40 juta rekaman data harga saham yang diambil untuk selang waktu lima menit dari sekitar 1.000 jenis saham teratas di Amerika. Jumlah ini merupakan angka fantastis yang menjadi daya tarik bagi fisikawan, namun belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah jenis DNA yang telah diteliti dengan teknik yang sama yang mencapai sekitar tiga milyar. Saat ini para ahli biologi telah mengetahui bahwa dari seluruh DNA yang diamati hanya tiga persen saja yang memiliki arti, sisanya sering disebut sebagai junk DNA atau non-coding DNA. Fisikawan dari Universitas Boston menggunakan teknik yang sama untuk mencari sifat-sifat fenomenologis dari junk DNA tersebut.
Sumber : http://www.fisikanet.lipi.go.id/
1 komentar:
:))
Post a Comment